Dua frasa itu kini mengemuka akhir – akhir ini : Narasi Moralitas dan Pemilu. Sulit membayangkan apabila nanti pada hari – hari di tahun politik ini berjalan tanpa ada bumper atau koridor moralitas. Dipastikan hasil akhir Pemilu yang demikian hanyalah kerusuhan dan perpecahan bangsa.
Koridor moralitas memang harus jelas. Harus terangkat ke atas permukaan dan kudu menjadi konsensus nasional kembali, jika kita memang sepakat tidak menghendaki warga bangsa terpecah – pecah mengelompok berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan).
Kebutuhan untuk menjadi sebagai sebuah negara bangsa mulai memuai dengan lahirnya Hari Kebangkitan Nasional 1908. Duapuluh tahun kemudian konsensus itu mengerucut menjadi Hari Sumpah Pemuda 1928. Puncak pencapaian semangat berbangsa, bertanah air dan berbahasa satu itu menguat di dalam sebuah kawah chandradimuka yang bernama Proklamasi 17 Agustus 1945.
Proklamasi itu tidak dapat dibantah bahwa itu adalah sebuah maha karya dari sebuah proses, perjuangan dan perjalanan panjang untuk tiba kepada posisi hukum meng-Indonesia. Ini adalah sebuah anugerah atau miracle yang terangkum dari akar keberagaman dan menyatu di dalam sebuah pandangan ideologi yang sama , menyatu di dalam ukuran moralitas yang sama.
Kesamaan ideologi terangkum di dalam lima sila Pancasila. Menyatukan faham kebangsaan yang mengikat keseluruhan cita – cita, tujuan, tanggung jawab seluruh bangsa.
Menjadi elemen nilai moral yang disepakati bersama. Tanpa perlu ada panggung deklarasi bombastis, peragaan kumpulan fisik yang ditingkahi oleh orasi – orasi tanpa substansi.
Oleh karenanya, jika mau dicari akar permasalahan pokoknya, mengapa akhir – akhir ini di dalam laku komunikasi antar sesama, getaran narasi lebih menggandung konotasi kontroversi : narasi permusuhan, ujaran kebencian, nihil apresiasi antar yang satu dengan yang lain. Jurang perpecahan digali dengan semangat politik identitas itu membuat kekerabatan menyejarah tersingkir ke pinggir.
Perilaku moralitas sehari – hari pada akhirnya terlihat seperti kehilangan sukma kebajikan, menjadi bahan olok – olok pemburu kemenangan rendah budi pekerti. Demontrasi perilaku penafian moralitas demikian gencar menggebu hasil fabrikasi semangat perburuan insentif elektoral yang berlebihan, hampa moralitas, tapi telah kadung meluas memenuhi pasar politik : siapa elo siapa gue!
Menipisnya narasi moralitas berbanding lurus suburnya perilaku anti moralitas yang mewujud dengan wajahnya yang gamblang : korupsi itu!. Terus terang korupsi adalah puncak perilaku yang anti moralitas. Sungguh sangat menusuk hati jika mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Charles de Gaulle mantan Presiden Prancis : “politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat memercayainya”.
Tragisnya karena para aktor pelaku korupsi itu adalah dedengkot dan orator kampiun pembakar semangat rakyat dan penyebar murah janji kampanye. Wajah mereka siang malam menghiasi layar televisi, halaman depan media cetak maupun media online dan ribuan memme di sosial media.
Publik belum lagi sempat bernafas lega tersengat shock kasus korupsi jumbo proyek e-ktp Setya Novanto mantan Ketua Umum Partai Golkar serta mantan Ketua DPR yang mengharu biru. Namun sekarang publik pun kembali dibuat sesak nafas atas kasus tertangkapnya Taufik Kurniawan dua hari yang lalu oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Wakil Ketua DPR serta Wakil Ketua Umum PAN (Partai Amanat Nasional) dicokok karena korupsi dana untuk Kabupaten Kebumen
Kedua figur teras partai politik itu hanyalah sekedar contoh dari ratusan pejabat negara yang terseret di dalam praktik nista korupsi. Yang dikorupsi adalah duit rakyat : rakyat yang diwakilinya. Kedua tokoh yang tragis itu adalah representasi nyata atas pupusnya moralitas di dalam komunitas lembaga politik.
Pertanyaannya, masihkah rakyat merasa perlu ikut serta berpartispasi di dalam Pemilu 2019, sementara perasaan was – was di dalam hati mereka sangat deras deburannya membayangkan : runtuhnya kembali moralitas justru oleh hasil Pemilu 2019!
Jawabannya terletak kepada kesediaan masing – masing kubu politik meninggalkan ego sektoralnya. Wajib hukumnya kembali ke pangkuan koridor moralitas yang dibentengi dan membentengi lima sendi utama di dalam Pancasila.
Kelima sila di dalam Pancasila tidak dapat dipisah – pisahkan dengan alasan apapun. Menafsir ulang Pancasila diluar nilai luhurnya itu, – apalagi berniat meniadakannya ,- sama saja dengan menghianati proklamasi yang melahirkan Republik Indonesia.
Sama dengan menghianati sejarah panjang torehan tinta emas moralitas tokoh muda berintegritas sekelas Dr. Soetomo, Ki Hajar Dewantoro, Soenario, Soekarno, Hatta, Moh, Yamin, J. Leimena dan WR. Supratman untuk menyebut beberapa tokoh bangsa yang tetap harum namanya sampai hari ini serta sederatan nama besar lainnya.
Konsensus nasional untuk memperkuat koridor moralitas bangsa ini teramat penting. Seyogyanya disegerakan dan diimplementasikan dengan melakukan reformasi moralitas yang telah melenceng jauh dari akarnya itu.
Tujuannya untuk menghindar dari sinyalemen penulis novel dan sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang mengatakan : “Barangkali saja orang akan mengingat tulisanku ini : Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik”, ujar novelis dan sastrawan Indonesia itu.
*Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati masalah sosial budaya