Oleh : Zainal Bintang
——–
Istilah politikus genderuwo yang dilontarkan Presiden Joko Widodo di Tegal, Jawa Tengah, Jumat (9/11/2018), menimbulkan kegaduhan baru dunia politik. Berselang dua hari Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon membalasnya dengan sebuah puisi berjudul “Ada Genderuwo di Istana”.
Arsul Sani tidak tinggal diam. Sekjen PPP itu yang merupakan juru bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi – Maaruf Amin, ikut menulis puisi dengan judul “Ada Genderuwo di Senayan”.
Perang diksi yang jauh dari nalar intelektualitas itu berhamburan dari mulut elite politik. Berlanjut ke lantai dasar menyasar rakyat kecil. Paling tidak, mereka, rakyat kecil itu ikut terlibat untuk kecewa berat dihujani perang istilah yang kontennya jauh dari makna konstruktif apalagi mau disebut adu gagasan.
Sangat sukar mengharapkan datangnya suara sejuk pengendali suasana keruh itu akan muncul dari mulut tokoh panutan di level atas. Petinggi negeri sendiri terlibat langsung dalam kancah perang istilah yang tidak ada hubungannya dengan upaya mencerdaskan rakyat, apalagi mengharapkan dapat berkontribusi kepada pendidikan politik. Mungkin disinilah letak sisi dilematis yang membuat upaya mempercepat menemukan kecerahan negeri mengalami jalan buntu.
Praktik demokrasi di Indonesia saat ini sebatas pada perburuan hitungan angka – angka suara pemilih pada pilkada dan pemilu. Dengan hanya berbekal demokrasi prosedural saja yang diikat norma formal semata, tentulah tidak cukup untuk mencerahkan rakyat tanpa diisi dengan konten – konten substansial. Padahal demokrasi memiliki dimensi yang berpotensi mendiseminasi nilai – nilai sakral yang ada di dalam batang tubuh Pancasila.
Ada kecenderungan demokrasi yang dipraktekkan elite di Indonesia saat ini, secara perlahan menafikan nilai dasar yang terangkum di dalam ideologi negara yang disepakati para founding fathers kita pada 18 Agustus 1945. Nilai nilai dasar didegradasi menjadi sekedar mesin kalkulasi untuk menghitung perolehan insentif elektoral : hitung – hitungan suara pemilih. Derajatnya diturunkan hanya untuk menyembah pilkada dan pemilu belaka.
Padahal yang disebut demokrasi seyogyanya menjadi instrumen perkuatan nilai dan budaya sebuah bangsa guna menciptakan kesetaraan, membangun rasa percaya diri dan pada gilirannya tercipta daya tahan ideologi yang ajeg kebal goncangan.
Publik terjejali berbagai macam refleksi kegagalan aktor politik, yang tidak berhasil mengangkat tinggi – tinggi narasi kebangsaan sebagai peta jalan. Mereka berkutat di dalam fabrikasi diksi yang membawa rakyat ke pinggiran skeptisisme yang fatal karena selangkah lagi akan masuk ruang gelap nihilisme.
Masyarakat bangsa ini sesungguhnya harus segera dibawa berjalan ke arah rimbunnya keharmonisan horisontal, yang terkandung di dalam semangat gotong – royong. Semangat gotong royong itu sejatinya adalah otentifikasi akar budaya bangsa yang memiliki kesepakatan berderajat tinggi yang kemudian dihayati sebagai : “berbeda beda tapi tetap satu”.
Keadaan destruktif itu apabila dibiarkan dan malah sengaja dirawat untuk digunakan sebagai gimmick politik kekuatan tertentu, percayalah yang akan dihasilkannya hanyalah disintegrasi bangsa yang akan bermula dari disintegrasi sosial. Hal mana akhir – akhir ini perlahan tapi pasti mulai menunjukkan gejala yang mengkhawatirkan. Polarisasi dua kubu kontestan yang semakin tajam adalah pemacu dan pemicu eskalasi tensi politik di tanah air.
Bayangkan sebanyak 19,4% pegawai negeri sipil di Indonesia tidak setuju dengan Pancasila. Penolakan terhadap ideologi Pancasila ini telah menyebabkan penurunan ketahanan nasional. Hal itu diungkap Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Mayjen (Purn) Soedarmo.
Di tempat terpisah Ketua Umum PSI Grace Natalie menyatakan PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. “Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa” ujanya. Banyak yang menyebut itu pernyataan sesat yang gagal faham. Dilandasi romantisme politisi pemula yang berburu popularitas.
Sementara itu Badan Intelijen Negara (BIN) mengungkap ada 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terindikasi telah terpapar radikalisme,” ujar Staf Khusus Kepala BIN Arief Tugiman di Jakarta.
Lalu, KPK (Komisi Pembarantasan Korupsi) menyebut 60 persen lebih pelaku tindak pidana korupsi yang ditangani merupakan politikus : “69 orang anggota DPR, 149 orang anggota DPRD, 104 kepala daerah, dan 223 orang pihak lain yang terkait dalam perkara tersebut,” ucap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah dalam keterangannya, Jumat (23/11/2018).
Menemukan silang sengkarut dunia politik yang berlangsung di tataran elite seperti yang diungkapkan diatas, jangan cemas jika rakyat kecil telah lebuh dulu cemas. Mereka mempertanyakan kepada siapa akan mengadukan nasibnya, menitipkan harapannya dan mempersembahkan totalitasnya?
Apakah rakyat Indonesia hari ini masih perlu percaya kepada pejabat negara berbasis politisi setelah mengetahui berita duka itu dari KPK? Mereka yang berpredikat terhormat telah mencopot sendiri kehormatannya dengan berperilaku tidak terpuji.
Rakyat tengah kehilangan matahari : Banyak wakil rakyat yang terhormat memilih jalan kegelapan di luar Pancasila!
Bangsa ini perlu mawas diri gerombolan genderuwo sedang bekerja sistemik di dalam senyap untuk membunuh Pancasila.
Corruptio optima pessima : “pembusukan moral (korupsi) dari orang yang tertinggi kedudukannya adalah yang paling buruk”, bunyi sebuah pepatah Latin
——
Zainal Bintang, wartawan senior dan pemerhati sosial buday